Langkah Kaki Untuk Masa Depan

October 14, 2015



Matahari bersinar dengan terik. Memantulkan paparan sinarnya melalui relung jendela kelas. “errrr...ngung....” Bunyi menderu dari pendingin ruangan mengisi kehampaan sebelum kelas akhirnya selesai. Papan tulis yang kini tak lagi berwarna putih terang itu terisi hampir penuh oleh penjelasan bapak dosen mengenai statisitka terapan. Rumit. Seperti rumitnya perasaanku karena kelas yang tak kunjung usai ini. Seakan mengerti apa yang aku pikirkan, Sang dosen pun mengakhiri kelas hari ini. Sepertinya, ia sudah mulai lelah mengoceh di depan kami yang terlihat tidak terlalu antusias mengikuti kelasnya. Ku alihkan pandangan kearah jam tanganku yang berwarna merah. Dengan model digital, arloji ini menunjukkan pukul dua belas lewat empat puluh lima menit. Artinya lima belas menit lebih terlewat dari jam kelas yang seharusnya.
Aku masih duduk termenung di atas kursi empuk kelas yang berwarna hijau terang pada bagian tengah keatas dan berwarna hitam polos pada bagian bawah dengan logo kebanggaan kampus terajut rapi tepat dibagian tengah kursi tersebut.
Berbicara mengenai kerumitan, aku jadi teringat betapa rumitnya memilih tempat untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Tepat setahun yang lalu, aku masih ingat sekali saat pertama kali ku menginjakan kaki ke tanah 1000 industri ini.
Hari itu, ku yakinkan langkah ini menuju bandara terbesar di bumi etam kalimantan timur. Aku siap menggapai impianku sebagai seorang broadcaster, batinku. Perjalanan cukup panjang ditempuh untuk bisa sampai di kota satelit Summarecon Serpong, tempat kampusku berlokasi. Matahari sudah meninggi di atas ubun-ubun. Barulah aku bisa sampai di lokasi kampus berbasis riset pertama di Indonesia ini. Walaupun cuaca lumayan panas, “byuuuuusssssh” angin semilir seakan menyambut kedatanganku disini. Wajar saja, di sekitar kampus, tumbuh berbagai pohon rindang, semak – semak beserta rerumputan yg terawat rapi. Merilekskan mata dan pikiran yang suntuk sehabis perjalanan panjang.
Sebelum memasuki area parkir, kendaraan roda empat yang ku tumpangi melewati sebuah bukit hijau yang sekilas mengingatkanku kepada lokasi film populer waktu ku kecil dulu dengan 4 karakter unik nan menggemaskan. Wah, sungguh asri sekali lingkungan kampusnya. Gedung kampus pun sudah terlihat. Wah, megah sekali gedungnya, gumamku. Di kalimantan memang jarang aku melihat gedung besar. Kuedarkan pandangan, Gedung itu memiliki 3 lantai dengan 1 lantai basement, berwarna dasar putih dengan pinggiran membentuk pola lika liku pada bagian tengahnya yang berwarna merah menyala. Pada bagian depan tumbuh tanaman menjalar dari pelataran pagar depan lantai 3 sampai hampir menuju lantai 1. Menambah kesan asri dan rindang. Jendela – jendela berukuran sedang pun berjejer rapi berada di samping kiri dan kanan gedung. Mobil sudah berada di area parkir, aku pun memasuki beranda depan kampus yang sudah dipadati oleh mahasiswa baru yang ingin daftar ulang. Hembusan dari pendingin ruangan membuat hawa panas yang terasa tadi sontak terasa sejuk. Ubin marmer berwarna silver metalik, menambah kesan mewah. Ku langkahkan kaki menuju meja registrasi yang berada tidak jauh dari depan beranda kampus. Aku bertanya kepada salah seorang kakak panitia disana. Toilet. tempat yang bisa digunakan untuk mengganti pakaian. Lurus saja, katanya. Ku ikuti petunjuknya dan sampailah disana. Wangi karbol pun tercium menusuk indera penciumanku. Kuedarkan pandangan kesekitar, disamping kiri terdapat sebuah jendela besar menghadap ke luar, disamping kanan terdapat wastafel dengan cermin lumayan besar. Semakin masuk kedalam terdapat 3 urinoir putih menempel pada dinding. Ubin berwarna senada dengan lobby depan yang mengkilat kinclong. Sungguh terkesan dengan kebersihnya toiletnya.
Setelah keluar dari toilet, aku menoleh ke kiri dan ke kanan sambil memperhatikan gedung kampus ini. Tak terbayang aku akan menghabiskan 4 tahun disini sampai memperoleh gelar sarjana Ilmu Komunikasi. Dengan perasaan yang masih bergejolak, aku berusaha untuk meyakinkan pilihanku. Pasalnya, sebelum resmi terpilih sebagai penerima beasiswa penuh, banyak universitas swasta lain yang telah menerimaku sebagai calon mahasiswa baru mereka. Tetapi, entah mengapa pilihanku tetap tertuju pada kampus ini walaupun sempat masih ada terselip rasa ragu di benak. Ah, jalani saja dulu, pikirku.
Woy, bengong aja lu. Ayo kita makan siang di warteg. Sebentar lagi kelas kedua dimulai” sahut Stefan dari balik pintu kelas yang berwarna cokelat itu  diiringi oleh sahutan dari teman – teman yang lain. aku terbangun dari lamunan dan baru saja sadar 15 menit sudah berlalu semenjak kelas bubar. Dengan mantap, Kaki ini pun melangkah meninggalkan ruangan kelas yang sudah kosong itu.
Seperti langkah kaki yang ku mantapkan untuk menggapai masa depan.

 Di sini. Di kampus ini.

You Might Also Like

0 Comments